Ada seorang anak
remaja yang ingin belajar dari pelajaran hidup yang tidak didapat dari sekolah.
Itulah aku, Jessica. Banyak makna yang tersimpan dalam pelajaran hidup. Jika
diibaratkan, pelajaran hidup adalah buah-buah dalam satu pohon. Ada yang buah
sudah matang dan rasanya manis, elok sekali saat di pandang, harum baunya
sehingga banyak orang yang ingin memetik buah itu. Namun, ada juga buah yang
tidak enak dipandang yang hanya memperburuk tampilan pohon itu dan baunya yang
tidak sedap. Tetapi buah busuk itu juga menjadi pelengkap sebuah pohon. Bahwa
ternyata, didalam hidupnya, pohon itu juga mengalami kegagalan saat memproduksi
buah demi buah. Tetapi pohon itu akan berteriak bangga ketika buah itu menjadi
buah matang. Karena buah itu akan diambil banyak orang, diperebutkan banyak
orang dan berguna untuk banyak orang.
Aku
akan menceritakan tentang halaman lalu yang kutuliskan di kertas ini. Namun,
aku tidak akan memulai cerita ini dengan kata “Pada suatu hari”, “Saat itu”,
ataupun “Pada pagi/siang/malam hari,”. Tetapi, aku akan mengawali jalan cerita
dengan kata “Aku”, “Dia”, “Kami” dan “Kita”. Karena aku akan menuliskan sedikit
kata-kata tentang “Aku” dan diteruskan dengan kata “Dia” dan “Kami” yang
berakhir dengan kata “Kita” sebagai bumbu pelengkap. Dan juga, aku akan
memberikan buah matang dan buah busuk yang bisa dipetik dan kiranya bisa
menjadi berkat untuk orang lain.
“AKU”.
Aku memiliki pengalaman dan pengamalan. Kedua hal itu, sangat dekat dengan daur
hidup. Kedua hal itu tidak bisa dipisahkan. Pengalaman yang berorientasi pada
apa yang kulakukan kemarin. Sedangkan pengamalan berorientasi pada apa yang kulakukan hari
ini.
Pengalamanku dan pengamalanku saling berkaitan satu sama lain.
Dan apa yang sudah kupetik sebagai
pengalamanku, akan tanamkan dalam pengamalanku hari ini.
“Apa
pelajaran baik yang ditanam di kota, dilakukanlah juga di desa nanti.”, kata
guruku. Di kota, aku diajarkan untuk bertindak sopan. Dan di desa, tindakan
sopanku lebih diasah lagi, ditambah dengan cara bersosialisasi yang ku
implementasikan di lingkungan desa tersebut. Alhasil, aku sudah mengubah banyak
pengalaman menjadi sebuah pengamalan yang nantinya akan diubah lagi oleh daur
hidup menjadi pengalaman. Memori yang terkenang sampai sekarang adalah ajaran
sosial budaya di desa yang tidak kudapat di kota Jakarta ini.
Aku
sangat girang,tertawa yang tercampur haru isak tangis. Aku tinggal ditempat
yang mungkin sangat sederhana ekonomi, namun kaya akan sosial budaya. Ruang per
ruang hanya dibatasi kayu tipis dan bambu sebagai penyanggahnya. Yang kulihat hanya ada satu warna, yaitu
warna tawa dalam kesederhanaan. Mereka menyambutku dengan senyum lirih manis
dan tawa kecil. Seorang anak balita menghampiriku dengan mengulurkan tangan
yang akan menggandengku, mengajakku bermain. Dengan segala kekurangannya, Ia
mencampurkan dunianya dan duniaku, imajinasinya dan imajinasiku untuk
menciptakan tawa dalam kesederhaan. Mungkin ini yang membuatku sangat betah
berlama-lama di rumah itu walaupun aku hanya melihat warna coklat yang
membatasi ruang gelap itu.
“DIA”. Aku memulai bab baru lagi. Kali ini,
aku akan menceritakan tentang dia, keluarga yang miskin secara ekonomi, tapi
kaya akan moral. Dia yang pertama kali kujelaskan adalah dia yang membuat
mengajarkan makna hidup. Dia yang mengajarkan cara tertawa dalam kekurangan.
Dia yang mengajarkan dan mendefinisikan apa arti kesempurnaan dalam kekurangan.
Dia adalah seorang anak balita, kupikir. Namun ternyata umur dia sudah lewat
dari balita. Aku akan mendeskripsikan sedikit tentang dia.
Dalam tiga hari
dua malam di sana, aku banyak mengetahui tentang dia melalui Ibunya. Ternyata,
dia memiliki beberapa kekurangan, yaitu dalam hal psikologisnya. Bagiku, dia
adalah anak malang yang mendapat banyak penyertaan dan karunia dari Sang
Pencipta. Semenjak beliau lahir ke dunia ini dan sampai sekarang selalu
diberkati Sang Kasih. Dari semenjak dia lahir, dia memiliki kelainan pada
kakinya. Lalu dilakukan perawatan yang intensif selama beberapa hari dan harus
bolak-balik ke Solo untuk penggantian gips serta sepatu khusus untuknya. Yang
seharusnya umur dua tahun, dia bisa bermain, tetapi dia hanya bisa berkutik
pada kasur. Lemah, lesu dan keinginannya untuk bermain mainan-mainannya. Dari
situlah muncul keterbatasan dalam psikologinya karena stress tak bisa bermain
apapun.
Tapi,
dari semua keterbatasannya, Ia seperti kesempurnaan dalam kekurangan. Di dalam
kekurangan dan keterbatasannya, Ia bisa mengajarkan banyak hal. Padahal,
usianya baru mencapai sembilan tahun, tapi dia bisa menjadi berkat untuk banyak
orang. Aku menjadi mengerti cara untuk ramah kepada orang lain, cara membantu
ibu sendiri dengan senyuman yang tulus ikhlas, dan juga cara untuk bermain yang
sederhana namun bisa tertawa terbahak-bahak. Lagi-lagi aku memuji anak ini
seperti tidak memiliki kekurangan apapun. Kau tahu? Walaupun Ia memiliki
keterbatasan dalam mentalnya, tapi dia sangat memiliki banyak talenta, seperti
jago menari, otaknya yang cerdas dan cepat tanggap, serta peduli dan menjaga
Ibunya. Betapa mulianya Sang Pencipta kita, Tuhan Yesus Kristus, yang
mengaruniakan seorang anak yang memiliki kekurangan tetapi dilengkapi-Nya
dengan kelebihan. Aku sangat bangga pada dirinya, karena dia juga mengembangkan
talentanya. Sungguh terpuji perbuatan anak polos itu.
Kini aku akan
mengganti menjadi semibab. Kali ini aku akan menceritakan sedikit tentang kedua
orangtua asuhku yang juga orang tua dari anak itu. Aku akan mengganti kata
“Dia” menjadi “Mereka”. Ya, mereka adalah sepasang suami-istri yang hidup dalam
kesederhanaan namun bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga sarjana. Lagi-lagi
pertolongan Tuhan dilibatkan dalam hal ini. Aku banyak memetik buah rohani
maupun edukasi moral. Dengan keadaan mereka yang mungkin sangat sederhana, dan memerlukan
tetesan keringat dan air mata untuk mengumpulkan seribu rupiah, tetapi Tuhan
membantu keluarga itu untuk mendapat lebih dari seribu rupiah. Saat aku di
rumahnya, mereka banyak sekali cerita tentang keluarganya. Dan yang terpenting,
aku memetik buah kasih. Kasih yang dipecah menjadi berbagi, sayang, bersyukur,
damai, dan masih banyak lagi. Sungguh! Kuakui, Tuhan ada untuk keluarga ini.
Dan mereka juga yang taat pergi kegereja untuk bersyukur atas apa yang Tuhan
telah berikan. Itulah buah petikanku dalam keluarga ini.
Mereka
tidak pernah melihat latar belakang seseorang. Aku yang diterima di keluarga
ini seperti memiliki keluarga baru. Aku sudah seperti dianggap anak sendiri.
Rasanya, aku tidak ingin hanya tiga hari dua malam. Aku ingin bertemu dengan
mereka tiap saat. Saking rindunya aku, sampai sekarang, aku masih saja
mengabari mereka, ingin tahu bagaimana kabar adikku dan ibuku disana. Karena
itu, aku sangat-sangat berterima kasih pada keluarga ini yang telah mengajarkan
banyak hal tentang pelajaran hidup. Mereka mengajarkan apa yang aku cari. Aku
menjadi mengerti kemana aku harus melangkah seperti aku menemukan jati diriku.
Karena mereka sangat bermakna dalam hidupku. Mungkin aku sudah berkali-kali
untuk melakukan kegiatan Live In, tapi hanya ini yang “ngena banget”
Kau
tahu? Aku disana seperti terbangun dari mimpi. Ternyata, mereka memiliki kasih
sayang yang besar padaku walaupun aku bukan siapa-siapa di keluarga itu. Aku sangat
sayang pada keluarga ini. Aku seperti merasakan hangatnya sebuah pelukan kasih
sayang seorang ibu. Aku seperti merasakan hangatnya dekapan seorang ayah. Aku
seperti merasakan masa saat aku lahir kembali dan dipeluk, didekap dan di
gendong lagi. Sungguh! Aku tak akan menyia-nyiakan waktu bersama mereka. Aku
ingin selalu membantu ibuku, karena diapun peduli padaku. Terutama, saat
pertama kali aku masuk kerumahnya, aku dijamu dengan sangat baik. Terasa
hangatnya sampai kedalam jiwa. Ini seperti cara mereka untuk menghangatkan
keluarga ditengah suasana dan udara yang dingin. Aku yakin! Pasti Anda yang
pernah merasakan posisi ini juga terasa hangatnya. Rasanya seperti tak pernah
kurasakan di kota yang dikenal besar nan luas ini. Dalam lingkup kecil itu, aku
bisa memetik buah yang sangat banyak.
“KAMI”.
Sekarang aku memulai bab baru lagi sekaligus bab terakhir pada cerita ini. Kami
berempat, “AKU”, “DIA”, dan juga “MEREKA” (merekanya dihitung dua yah.. hehehe)
menyatukan jiwa dan pikiran dalam sebuah kesederhanaan, kekurangan,
ketidaksempurnaan namun bahagia. Temanya adalah kesempurnaan dalam
ketidaksempurnaan. Bukan tentang kekayaan dan harta, namun tentang sederhana
dan tawa. Inilah inti buah yang kupetik, bahwa semuanya bisa tetap berjalan
dengan penyertaan Tuhan walaupun didalam kesederhaan. Karena Tuhan akan
melengkapi bagian-bagian yang kurang. Bagian-bagian yang berlubang, Ia tutupi
dengan kesempurnaan-Nya. Sungguh! Inilah yang disebut semangat Kasih Tuhan.
Dan sebagai
pelengkap sekaligus penutup, aku akan menegaskan beberapa hal. Di sini, aku
hanya membahas tentang “KITA”. Karena yang membuatku terkesan adalah pelajaran
hidup yang kupetik buahnya menjadi pengalaman dan bekal masa depanku. Mungkin
untuk sebagian orang ini tidak berarti, tapi bagiku, ini sangat bermakna bagiku
dan masa yang akan mendatang. Aku mempelajari hidup! Bukan tentang hidup sehat
dan organ tubuh seperti biologi. Dan bukan tentang pelajaran Kimia yang
mempelajari bahan kimia mana saja yang boleh masuk ke tubuh dan dicerna oleh
tubuh atau bahan kimia untuk kosmetik, untuk penyembuhan, dan lain-lainnya. Dan
juga bukan tentang pelajaran Fisika yang mempelajari tentang lensa mana yang
tepat untuk penyakit mata hipermetropi atau miopi. Dengar dan simaklah! Aku
belajar sesuatu yang berarti! Ini adalah harta masa depanku! Aku belajar
tentang kenyataan! Ya, biologi, kimia, fisika juga mempelajari tentang hal-hal
yang nyata. Namun, ini lebih nyata dari kenyataan! Aku tak bisa
mendeskripsikannya tapi ini bagaikan akar dalam pohon! Tanpa akar, tidak akan
ada daun, batang, apalagi buah. Inilah akhir kisahku, yang kiranya bisa menjadi
berkat untuk yang membacanya!